Menekan dan menghindari munculnya suatu potensi konflik, betapapun adalah sebuah upaya yang perlu dilakukan secara terus-menerus. Tentu saja dalam hal ini diperlukan keterlibatan semua pihak, tidak semata-mata pihak pemerintah, bukan pula semata tugas aparat intelijen yang ada di negeri tercinta ini, namun adalah tugas kita semua. Pemerintah maupun jaringan Organisasi Masyarakat (ormas), tentulah bagus apabila memiliki “peta” potensi konflik yang dilengkapi dengan sistem penanganan yang professional dalam menekan dan menghindari munculnya pertentangan yang bisa membuahkan perselisihan dan permusuhan. Aparat keamanan dan lembagalembaga intelijen yang ada, sudah jelas di antara tugas utama mereka adalah membuat peta kemungkinan terjadinya konflik yang dapat memunculkan permusuhan dan instabilitas di kalangan masyarakat. Sayangnya, selepas era rezim Orde Baru, sebagaimana diakui oleh para analis keamanan, aparat intelijen kita dinilai sering kebobolan. Komentar-komentar “miring” tentang aparat intelijen itu, ada baiknya ditanggapi dengan kepal.
Dingin seraya terus memperbaiki diri dan menampilkan bukti bahwa para petugas intelijen kita mampu bekerja dengan baik dan professional. Apa yang disampaikan oleh mantan Ketua PBNU, KH. Hasyim Muzadi, mengenai kemungkinan meletupnya konflik sunni-syi’ah di Jawa Timur, mestilah direspon secara professional oleh aparat intelijen kita. Jika tidak, maka jangan heran apabila konflik yang ada kemudian menjadi tidak terkendali sehingga memicu pertumpahan darah yang tentunya sama-sama tidak kita inginkan. Di sisi lain, di tengah-tengah kondisi dimana para elit politik di negeri ini terkesan lebih “mendewakan” HAM (versi Barat) seraya mengabaikan Pancasila, bisa menambah runyam keadaan apabila konflik yang dikhawatirkan itu akhirnya benar-benar terjadi. Orang-orang maupun lembaga yang mengklaim dirinya sebagai “pendekar” HAM, akan membela mati -matian suatu kelompok yang dinilai dikebiri hak-haknya. Mereka tidak memperdulikan apakah suatu kelompok itu mengancam eksistensi NKRI atau tidak, apakah mengancam stabilitas kehidupan beragama atau tidak, para pegiat.
HAM itu tidak perduli. Yang penting bagi mereka adalah HAM (versi yang mereka yakini) mesti ditegakkan, tidak ambil pusing apakah Pancasila tiarap atau diabaikan. Tidak penting bagi mereka apakah NKRI eksis atau roboh. Jelas, komitmen mereka terhadap Pancasila dan keberadaan NKRI, perlu dipertanyakan. Masalahnya kini adalah, seriuskah kita menjaga kerukunan di antara anak negeri dengan tetap mengedepankan Pancasila, UUD 1945 dan menjaga keutuhan NKRI? Kalau pendekatan para elit di negegri tercinta ini dalam mengahadapi berbagai persoalan hanya semata-mata melihat dari sisi HAM seraya mengabaikan Pancasila dan tegaknya NKRI, maka yakinlah berabagai persoalan yang muncul tidak akan pernah dapat diselesaikan dengan baik. Karenanya, sungguh layak diapresiasi apabila akhir-akhir ini Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) semakin serius mengingatkan berbagai kalangan masyarakat agar dapat mewujudkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dalam kehidupan sehari-hari dan agar senantiasa mempertahankan keutuhan NKRI yang sama-sama kita cintai itu.