Oleh: SUPRIO GUNTORO
Sesungguhnya telah kami ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian itu, kami bawa kembali ke tempat yang paling rendah. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan perbuatan baik, karena mereka akan memperoleh pahala yang tiada putus-putusnya.
(Al-Qur’an, Surat At-Tin, ayat 4-6)
Benarkah manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna? Jika kita baca ayat-ayat dalam surat At-Tin di atas, agaknya Al-Qur’an mengisyaratkan hal itu. Demikian pula Charles Darwin, salah seorang biologi pencetus teori evolusi. Menurut penulis buku “The Origin of Species” itu, manusia merupakan bentuk “Puncak Evolusi” dari makhluk-makhluk sederhana.
Menurut Darwin, bangsa mamalia merupakan kelas binatang yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan kelas binatang lain. Diantara mamalia tersebut, bangsa Kera (Primata) menduduki derajat teratas. Kemudian diantara bangsa Primata, species Homosapiens-lah yang paling sempurna secara anatomis. Ia sudah bisa berjalan tegak dengan kedua kakinya, bisa memanfaatkan kedua tangannya untuk berbagai aktivitas, memiliki volume otak paling besar dan IQ paling tinggi.
Bahkan menurut Al-Qur’an manusia tidak hanya sempurna dalam fisik, di dalam diri manusia juga diberi akal yang tinggi serta dilengkapi dengan Ruh (sifat berorientasi kepada Tuhan/ kebenaran). Itu sebabnya, “Manusia Modern” (kalau tidak salah dimulai dari Adam), disamping sebagai Abdi-Allah (hamba Tuhan), juga diberi kepercayaan menjadi Khalifatullah (mandataris Tuhan dalam mengelola dunia).
Amanah sebagai Khalifah belum diberikan kepada manusia-manusia purba (Pra-Neanderthal), seperti Homo Mojokertensis, Australopithecus, Homosoloensis, dll. Karena otak mereka belum mampu mempelajari ilmu dan teknologi. Sedangkan “Generasi Adam” merupakan generasi Homosapiens yang sudah mampu mempelajari ilmu (Q.S Al-Baqarah ayat 31). Karena itu istilah “Manusia” dalam Al-Qur’an ditunjukan kepada “Manusia Modern” (Homo Sapiens) yang oleh Darwin disebut sebagai bentuk “Puncak Evolusi” pada zaman kini.
Namun, dalam Surat At-Tin, diisyaratkan bahwa kondisi manusia yang amat baik tersebut akan mengalami kemerosotan karena ulah manusia sendiri, yakni manusia-manusia yang tidak beriman. Apakah ini merupakan isyarat masih berlangsungnya proses evolusi pada diri manusia modern?
TEORI EVOLUSI MODERN
Berbicara tentang teori evolusi tentunya kita tidak boleh hanya terpaku pada teori Darwin. Setelah terbitnya buku Darwin yang berjudul “The Descent of Man” pada tahun 1871 yang memuat tentang evolusi, lantas bermunculan teori evolusi lain dari para ilmuwan Barat, baik yang sejalan maupun yang berbeda dengan pandangan Darwin. Walaupun harus diakui, pemikiran para ilmuwan tersebut banyak diilhami dengan pemikiran Darwin.
Di Jerman misalnya, muncul teori Haeckel yang menolak teori penciptaan. Disamping itu muncul pula pandangan Hegel yang mencetus teori Dialektis, yang berbeda dengan pikiran Feuerback yang melontarkan pandangan Materialisme. Dari beberapa pandangan tentang evolusi tersebut kemudian diakomodasi oleh Karl Marx menjadi paham MARXISME yang akhirnya melahirkan idiologi Komunisme. Dengan demikian Feuerback maupun Marx merupakan orang yang harus bertanggung jawab terhadap eksploitasi teori Darwin ke arah Atheisme yang tidak sejalan dengan pikiran Darwin sendiri.
Namun dalam perkembangannya tidak semua teori evolusi sejalan dengan faham Materialisme dan Marxisme. Beberapa teori evolusi modern, tidak hanya menekankan pentingnya perkembangan aspek material (Jasmaniah) tapi juga peran ide, pikiran dan roh. Diantara tokoh teori evolusi modern yang menonjol adalah TEILHARD DE CHARDIN yang telah banyak mengoreksi teori Darwin.
TEILHARD DE CHARDIN yang lahir di Perancis tahun 1881 adalah fisikawan jenius yang pernah mengajar di Kairo-Mesir. Pada tahun 1922 ia mengajar geografi di Perancis, dan antara tahun 1923-1938 melakukan lawatan ke negara-negara Tiongkok, India, Birma dan Indonesia. Bersama-sama Prof. KONIGSWALD, antara tahun 1931-1932, ia melakukan penelitian terhadap fosil manusia Trinil, Ngandong dan Sangiran di pulau Jawa.
Menurut Theilhard, manusia modern terus mengalami evolusi, tidak hanya secara fisik namun lebih utama lagi pada perkembangan konsentrasi psychis (kesadaran) dan pikiran. Evolusi menurut ilmuwan ini tidak hanya berjalan atas susunan materi belaka, tidak hanya berkembang dari kebetulan, melainkan secara terarah dan terencana berdasarkan kesadaran batin.
Pada garis besarnya, teori evolusi modern memuat prinsip-prinsip perkembangan manusia antara lain: (1) Manusia adalah bagian dari alam yang terus berevolusi, terus berkembang untuk memanusiakan dirinya. (2) Manusia akan makin cerdas, lebih mengenal dirinya, mengenal fakta-fakta hidup lain dan proses-proses alam. (3) Berbeda dengan teori evolusi lama, dimana perkembangan manusia dan makhluk hidup lainnya ditentukan oleh seleksi alam, dalam evolusi modern, manusia sekarang akan menjadi pengarah dan perencana dalam evolusi dirinya, Hali ini disebabkan karena adanya kesadaran pada manusia modern akan terjadinya evolusi pada dirinya.
PUASA
Prinsip-prinsip evolusi modern tersebut agaknya sesuai dengan makna dan visi “Khalifatullah”, yang memberikan kebebasan kepada “Manusia Modern” (generasi Adam) untuk memilih, merencanakan perkembangan, berupaya mengubah kondisi diri maupun lingkungannya.
Berbeda dengan teori evolusi lama, yang menempatkan alam sebagai subyek yang melakukan seleksi terhadap perkembangan manusia, teori evolusi modern menempatkan manusia sebagai subyek yang merencanakan perkembangan dirinya dan pada batas-batas tertentu melakukan seleksi terhadap komponen-komponen alam untuk kepentingan dirinya.
Agar proses evolusi tersebut mengarah pada bentuk “Memanusiakan Manusia” maka upaya manusia dalam merencanakan dan mengarahkan evolusi harus didasari pada kesadaran moral, kesadaran sosial, dan kesadaran kosmis. Hal ini penting, mengingat dalam diri manusia juga masih terdapat sifat “Binatang”. Menurut Darwin, dalam perjuangan hidup (Struggle for life) ada kecenderungan Survival of The Fittes, yang kuat menjadi pemenang. Karena itu peningkatan kecerdasan manusia bisa membawanya ke arah Evolusi yang positif meningkatkan harkat kemanusiaan, bisa pula mengarah ke Evolusi Negatif yang justru memerosotkan harkat kemanusiaan mana kala tanpa kendali moral.
Tanpa pengendalian diri, kecerdasan akan hanya mengarahkan manusia pada sifat tamak, sombong dan egois. Apalagi di zaman kini dimana proses integrasi ekonomi global tengah berlangsung, segalanya cenderung memasuki mekanisme pasar, cenderung serba komersialisasi. Sehingga timbul marjinalisasi terhadap hal-hal yang non-commercible, seperti kebenaran, keadilan dan kemerdekaan.
Itu sebabnya, Tuhan mengingatkan kepada “Manusia Modern” yang berakal tinggi, agar dalam mengarungi hidup senantiasa mengasah kesadaran moralnya, sebagai pengendali diri, guna mempertahankan kedudukannya sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia dalam proses evolusi.
Pengendalian diri tersebut ditempuh melalui berbagai latihan diantaranya dalam bentuk puasa. Puasa merupakan bentuk latihan pengendalian diri yang efektif ditengah budaya masyarakat yang cenderung Permisif. Sebab, pada hakekatnya puasa tidak hanya sekedar mengendalikan makan, minum dan sex, melainkan mengendalikan seluruh lembaga-lembaga pencetus nafsu dari diri manusia, termasuk fikiran sebagai pusat perencanaan prilaku. Puasa juga merupakan bentuk “Perang” terhadap sikap “Survival of The Fittes”, yang cenderung rakus, sombong dan ego. Karena itu dampak pelaksanaan puasa yang disertai dengan gerakan zakat diharapkan tidak hanya berdimensi individual tapi juga memiliki dimensi sosial bahkan juga berdimensi kosmis.
Begitu pentingnya puasa sebagai bentuk latihan pengendalian diri, sehingga perintah puasa oleh Tuhan sesungguhnya tidak hanya ditujukan kepada Ummat Muhammad (Islam) tapi juga kepada Ummat-Ummat sebelumnya (Q.S Al-Baqarah, Ayat 183).
Dengan kendali moral terhadap perkembangan pikiran, diharapkan manusia mampu mengarahkan evolusinya ke arah yang positif, agar tidak terjerumus pada evolusi yang memerosotkan harkat dirinya, sebagaimana tergambar dalam Surah At-Tin.
MASUKKAN
Dalam kaitannya dengan evolusi manusia khususnya menyangkut konsentrasi psychis yang terus berlangsung, setidaknya ada 2 hal yang perlu kita tekankan dalam kegiatan puasa: Pertama, puasa semestinya jangan hanya ditujukan sekedar untuk “menghapus dosa-dosa masa lalu” tetapi perlu pula kita jadikan “energi” untuk memproyeksikan perbaikan perilaku dimasa mendatang.
Kedua, kegiatan puasa, zakat fitrah dan kegiatan lain dalam kaitan Ramadhan perlu kita arahkan terus agar dampaknya tidak hanya bermakna bagi individual tapi juga memiliki dimensi sosial dan dimensi kosmis. Hal amat penting kita lakukan untuk mengimbangi gerakan-gerakan lain yang cenderung mengarahkan manusia ke Evolusi Negatif.
Jika kedua hal tersebut dapat kita laksanakan secara optimal, kita optimis umat yang menjalankan ibadah puasa akan menjadi teladan moral dalam pergaulan global. Mereka akan menjadi panutan bagi umat-umat yang lain. Wallahu a’lam bish shawabi.